Baju putih itu telah dipakai si terpidana mati, Rani Andriani yang tengah meringkuk di balik
jeruji besi. Ia juga sudah menjalani puasa selama 40 hari. Pada usianya yang
menginjak 38 tahun, Rani yang bernama lengkap Melissa Aprilia itu dieksekusi
mati setelah divonis bersalah atas kasus penyelundupan narkoba.
Rani Andriani menjadi salah satu dari 6 terpidana mati yang dieksekusi mati
bersamaan pada Minggu (18/1/2015) dini hari sekitar pukul 00.00 WIB. Ia
merupakan satu-satunya warga negara Indonesia (WNI) yang divonis mati pada
tengah malam itu.
Kisah Rani hingga menemui ajalnya di Lapas Pasir Putih, Nusakambangan Cilacap
bermula dari sepupunya, Meirika Pranola alias Ola yang juga divonis mati namun
kemudian mendapat grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu
menjadi hukuman seumur hidup.
Rani diajak Ola untuk menyelundupkan narkoba. Rani sempat menolak. Tapi pada
akhirnya bersedia menjalankan 'pekerjaan berisiko tinggi' tersebut. Namun ia
ditangkap di Bandara Soekarno Hatta saat hendak melancarkan aksinya
menyelundupkan 3,5 kg heroin dan 3 kg kokain ke London, Inggris.
Ia kemudian mendekam di sel tahanan. Setelah melalui beberapa kali persidangan,
Rani pada akhirnya divonis mati Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Agustus
2000. Ola dan Deni Setia Marhawan alias Rafi Muhammed Majid yang merupakan seorang
lurah di Cianjur juga divonis mati atas kasus serupa.
Seperti dimuat Hukumonline, putusan hukuman mati untuk Rani ini disebutkan
tidak mempertimbangkan latar belakang ekonomi dan psikologi, serta posisi Rani
yang disebut terjebak dalam jaringan mafia narkotika karena tertipu.
Jaksa penuntut umum kala itu, Mursidi menyatakan, "Terdakwa merupakan
bagian dari salah satu mata rantai sindikat peredaran narkotika."
Alasannya, beberapa kali Rani disuruh membawa heroin dan kokain dari Thailand
dan Pakistan ke Indonesia. Saat tertangkap di Bandara Soetta, Rani menggunakan
paspor Singapura.
Usai divonis, upaya pengajuan banding dan grasi dilakukan Rani bersama Ola dan
Deni. Namun hanya Ola dan Deni yang mendapat grasi dari SBY. Entah mengapa
permohonan grasinya baru diputus saat periode Presiden Jokowi. Grasi yang diajukan Rani ditolak Presiden Jokowi lewat
Keppres 27/G 2014.
Sesuai permintaannya sebelum detik-detik ajak tiba, Rani Andriani dikebumikan di samping makam
ibunda di Cianjur.
Sementara itu, masyarakat sempat dibuat tercengang oleh
keputusan SBY kala itu. Tak lama setelah menerima grasi, Ola berbuat ulah lagi.
Dia diketahui masih mengendalikan jaringan narkoba internasional dari balik
jeruji penjara.
Dia diduga menjadi otak pengedaran narkotika setelah Badan Narkotika Nasional
(BNN) menangkap seorang wanita yang mengaku sebagai kurir Ola saat membawa sabu
seberat 775 gram. Kabar itu pun membuat banyak pihak menyayangkan keputusan
grasi SBY.
SBY kala itu menegaskan, ia bertanggung jawab atas grasi tersebut dan tidak
akan menyalahkan Mahkamah Agung atau menteri yang memberinya pertimbangan.
"Khusus Ola, pertimbangannya kemarin tentu luas sekali, tapi tanggung
jawab kepada saya. Saya tidak boleh menyalahkan Mahkamah Agung atau menteri. Kalau
saya memberi grasi, saya yang bertanggung jawab," ujar SBY.
Dalam catatan Liputan6.com, Rani Andriani pernah mencoba kabur dari Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Tangerang pada Desember 2000. Rani mencoba kabur bersama
terpidana 18 bulan kasus narkoba, Maya dan Angel.
Maya dan Angel berhasil kabur. Mereka memotong jeruji sel dengan menggunakan
gergaji besi. Setelah jeruji putus, mereka bergerak ke Pos II yang kebetulan
tak dijaga. Selanjutnya, mereka membongkar kunci gembok dan naik ke menara
dengan menggunakan seutas tali yang diikat pada jendela menara setinggi 5
meter.
Nasib apes dialami Rani. Ia gagal kabur setelah terjatuh saat menuruni menara.
Saking kesakitan karena terjatuh, Rani berteriak. Saat itulah petugas
mengetahui upaya pelarian mereka. Setelah diperiksa, diketahui tulang kaki dan
pinggang Rani retak. Namun, ketika petugas tiba, Angel dan Maya sudah kabur.
Mie Terakhir
Terpidana mati lainnya adalah Tran Thi Bich Hanh alias Asien yang berasal
dari Vietnam. Perempuan tersebut divonis mata lantaran dinyatakan bersalah atas
kepemilikan 1,1 kilogram heroin.
Menjelang detik-detik eksekusi, kondisi Asien tak menentu. Kadang tampak
baik-baik saja, tapi kadang murung. Pada saat yang lain, ia menangis
sesenggukan sendirian.
"Dari awal dikasih tahu bahwa grasi ditolak dia langsung menerima. Dia
mengatakan, 'Saya siap', tapi dengan permintaan saat ditembak jangan diborgol
dan saat mati dikremasi," kata Suprobowati.
Sementara itu, menurut rohaniwan dari GBT Firman Kudus, Luis Immanuel,
"Kondisinya kadang tenang kadang sedih. Pernah bilang, 'aku nggak mau
mati'. Saya bilang yang penting kamu pegang janji Tuhan."
Menjelang akhir hayatnya, Tran Thi Bich Hanh bisa mencicipi kembali sajian dari
tanah kelahirannya di Vietnam. Pho namanya. Hidangan mi berkuah dengan tambahan
daging sapi itu diantarkan langsung kepada terpidana mati kasus narkoba itu
oleh perwakilan Kedutaan Besar Vietnam di Indonesia.
Makanan itu diantarkan langsung ke tempat ditahannya wanita 37 tahun tersebut
di Lapas Wanita Bulu, Semarang, Jawa Tengah. Makanan tersebut sengaja dibawa
untuk disantap wanita yang karib disapa Asien itu sebelum eksekusi.
"Makanan itu sudah dicarikan dan diberikan saat Kedutaan Vietnam
berkunjung ke Lapas, kemarin," kata Kalapas Wanita Bulu, Suprobowati.
Pho adalah makanan mie berkuah yang dicampur irisan daging
sapi bercampur bumbu pedas. Bumbu utama dalam masakan Vietnam ini adalah kecap
ikan hasil fermentasi yang disebut nuoc mam. Poo juga disajikan bersama sayuran
mentah seperti daun selada, mentimun, serta sayuran rempah (rau thom) yang
mirip seperti daun ketumbar dan disajikan segar.
Selain meminta makanan khas Vietnam, sambung Suprobowati, Asien juga meminta
rokok. Padahal LP merupakan bebas rokok. "Di sini sebenarnya ada aturan
tak boleh merokok. Namun karena itu permintaan dia sebelum dieksekusi, maka
kami turuti. Tadi pun kami kasih dia rokok," tutur Suprobowati.
Suprobowati mengatakan, apapun yang menjadi permintaan terakhir Asien akan
berusaha dipenuhinya. Dia berharap, menjelang ekskusi mati, agar Tran Thi Bich Hanh merasa bahagia dan tak
memiliki beban.
Warga Vietnam itu juga menuliskan permintaan terakhir secara tertulis, yakni
minta tak diborgol ketika dieksekusi. "Dia bilang, 'saya siap ditembak
tapi jangan diborgol'. Permintaan itu tertulis, dia agak jengkel kalau sama
orang Kejaksaan. Dia baru ngomong setelah tidak ada orang Kejaksaan," kata
Suprobowati.
Sepucuk Surat
Lain Rani dan Asien, lain pula Namaona Denis, terpidana mati atas kasus
penyelundupan 1 kg heroin. Sebelum dieksekusi, pria berusia 48 tahun itu
menuliskan sepucuk surat. Begini isinya.
Assalamualaikum.
Saya Namaona Denis...orang miskin yang bangkrut dan terpaksa menjadi kurir.
Saya bukan bandar narkoba. Kepada Bapak Presiden dan seluruh rakyat Indonesia,
saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan saya karena sebagai
manusia, saya tidak lepas dari kesalahan.
Perubahan hukuman saya dari seumur hidup menjadi pidana mati telah 14 tahun
merampas keadilan yang sampai saat ini saya perjuangkan.
Saya mohon kepada masyarakat memahami perjuangan saya memperoleh keadilan agar
tidak ada orang lain mengalami perlakuan seperti saya. Karena ternyata berkelakuan
baik dan patuh pada aturan hukum di negara ini saja tidak cukup untuk
memperoleh keadilan.
Karena itu, melalui surat ini, saya masih terus memperjuangkan keadilan yang
tidak pernah saya dapatkan.
Dan atas nama saya dan keluarga, berkali-kali saya memohon ampun kepada Alloh
dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.
Wassalam mualaikum warohmatulohi wabarokatuh.
Terpidana mati lainnya, Ang Kim Soei menjalani hari-hari terakhirnya
dengan mengobati orang-orang tak mampu. Ia sebelumnya divonis mati oleh
Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 13 Januari 2003 dalam kasus kepemilikan 2
pabrik ekstasi.
Salah seorang pasien, Tyas mengatakan, dari sisi kemanusiaan, Mr Kim banyak
memberi pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan, terutama yang tidak
mampu. Menurut dia, petugas telah tahu praktik pengobatan herbal yang dilakukan
Mr Kim. "Eksekusi ini sangat disayangkan. Padahal, dia memiliki kelebihan
untuk menolong orang," kata Tyas.
Pendeta Titus AS menjelaskan, pengobatan yang dipraktikkan Mr Kim dilakukan
dengan cara pemijatan dan ramuan herbal. "Kadang juga menggunakan
lintah," ujar Titus.
Baca Ini Juga